Counterattack of the Cannon Fodder Chambermaid (English - Indonesian Translation) - Prolog
Xiao Hua merasa kebal akan sakit.
Mungkin diawal ia ingin berkata kasar, memberontak ketika merasakan sakit yang mencapai sumsumnya. Sekarang, ia tak lagi mempunyai tenaga.
Sensasi mati rasa menyebar, rasa sakit terasa semakin jauh. Mata merahnya tak lagi dapat melihat dengan jelas wajah-wajah menjijikkan di sekelilingnya ketika pandangannya memudar menjadi merah.
Menjijikkan?
Heh, dia dahulu salah satu diantara mereka. Akan tetapi, pemenang adalah raja, sedangkan yang kalah diinjak-injak. Demikian dia, yang kalah, ditekan dan dipukuli sampai mati, sementara mereka berdiri menyeringai disampingnya…
Selanjutnya pendengarannya…
Dia tak lagi dapat mendengar ejekan mereka, tak lagi mendengar mereka mencerca cederanya, dan tak lagi mendengar kecaman mereka yang merendahkan dan mengumpatnya.
Heh–jangan kritik orang lain bila dirimu tak sempurna. Siapa yang tak berdosa di halaman ini?!
Yang “tak berdosa” hanyalah menyimpan rahasia mereka lebih dalam.
Kain perca di mulut mencegahnya menyembur darah, yang sebagai gantinya mengalir pelan diujung mulutnya.
Xiao Hua membuka lebar matanya, wajahnya menyandar pada lantai keramik batu yang dingin. Ia tiba-tiba merasa dingin, keadaan dingin yang sama dengan yang ia rasakan hari itu, bertahun-tahun yang lalu. Dingin yang menembus badannya kendati suhu lingkungan disekitar.
Adegan itu perlahan melintas di matanya. Memori yang biasanya ia hindari dan bendung secara paksa.
Sebagai selir favorit dari tuan keempat Jinyang Marquis Estate, bagaimana ia memikirkan kejadian dahulu yang tak tertahankan?
Tapi mengapa saat ia meninggal, ia mengingat kembali kejadian dahulu…
“…Xiao Hua, jangan salahkan ayahmu!”
Petani bungkuk itu membelai kepalanya dengan tangannya yang kasar, kemudian berbalik dan pergi.
Hujan deras turun di udara yang dingin, namun tidak dapat dibandingkan dengan hatinya yang dingin.
Ia berumur lima tahun waktu itu. Tanpa menangis atau mengejarnya, ia menyaksikan sosoknya menghilang di kejauhan.
Ia sudah mengerti: ayahnya menjualnya demi uang.
Pengurus rumah tangga di sampingnya mengehela nafas, menepuk kepala kecilnya dan menuntunnya melalui gerbang.
Salahkan?
Bagaimana ia menyalahkannya?
Kampung halamannya terlanda banjir, korban kelaparan memenuhi seluruh daerah dan semua yang ada di rumahnya hanyut. Kedua orangtuanya melarikan diri dari bencana bersamanya dan kedua adik laki-lakinya. Mereka tidak mempunyai makanan, tak ada air, dan tak ada yang menawarkan mereka tempat berteduh.
Adik laki-lakinya jatuh sakit tepat setelah mereka menemukan tempat tinggal sementara. Pada situasi sulit dengan pilihan terbatas, mereka terpaksa menjual anak-anak.
Dirinya… mereka terpaksa menjual dia…
Dia membenci mereka, suatu waktu dulu. Saat dia dijual berulang kali, saat dia menahan lapar dan pukulan tiap hari, ia benci….
Mengapa mereka menjualnya? hanya karna ia seorang anak perempuan? Apakah anak perempuan benar-benar tak berharga?
Pada akhirnya, ia tak lagi membenci mereka. Ia hanya membenci takdirnya!
Membenci surga karna tidak memberinya latar belakang yang bagus. Mengapa ia tak lahir di keluarga kaya?
Betapa beruntungnya gadis-gadis muda di keluarga itu. Berbalut emas dan perak, dikelilingi oleh para pelayan tanpa kekurangan makanan dan minuman. Tidak perlu khawatir akan kelaparan dan dipukuli bila pekerjaanya tak dilakukan dengan baik.
Namun, dia bukan mereka. Ia hanya bisa berjuang sendiri…. dan keadaannya sekarang adalah hasil perjuangannya.
Menyesal… begitu banyak penyesalan… sebenarnya, ia sudah mulai menyesal sejak dulu. Namun mengambil langkah pertama itu berarti ia tak punya ruang untuk mundur. Jika ia tidak berjuang, ia akan ditelan nasibnya. Maka ia berjuang, ia memaksakan dirinya untuk berjuang. Berjuang dan berkelahi hingga ia sadar bahwa beberapa hal tak bisa didapatkan dengan usaha belaka.
Seandainya… seandainya ia bisa mengulang semuanya dari awal… seandainya ia bisa mengulang semuanya dari awal ia bersumpah untuk membuka lembaran baru… melepaskan dirinya dari kecemaran yang menyesatkannya… dan menjadi orang yang jujur.
Sayangnya, tak ada pengulangan dalam hidup…
Pengelihatannya memudar dari merah menjadi hitam…
“Nyonya muda keempat, dia tak lagi bernafas…”
Nenek tua tegap yang memegang papan berlumuran darah di tangannya melapor ke nyonya berpakaian indah di tangga, saat dia memeriksa tubuhnya untuk mencari tanda-tanda kehidupan.
Nyonya muda keempat melirik ke arah kerumunan gadis cantik dan menawan di sekitarnya, sudut bibirnya berkedut dengan sombong ketika ia melambaikan tangannya.
“Gulung tubuh di dalam tikar dan buang.”