Final Days of Summer (English to Indonesian Translation) - Cerita 2 Bagian 3
- Home
- Final Days of Summer (English to Indonesian Translation)
- Cerita 2 Bagian 3 - Sang Pengikut Bintang
CERITA 2 : SANG PENGIKUT BINTANG
(BAGIAN 3)
Sumber Asli: disini disini Sumber Inggris:
Dua bayangan melesat ke dalam gua yang terhubung di dasar laut. Setiap kali terlihat seekor lumba-lumba melesat di depan sambil mengibaskan ekornya di air, yang saat ini mengikutinya di belakangnya adalah si ikan paus sekali-kali menoleh ke belakang, wajahnya terlihat sangat tidak nyaman. Setelah mengedipkan cahaya di badannya sejenak, akhirnya si ikan paus berbisik kepada si lumba-lumba.
“Apakah… apakah ini benar-benar ide yang bagus, Tuan Lumba-lumba? Masih belum terlambat untuk kembali ke Ibunda Bulan. Ayo, kita kembali. Jika kamu melakukan sesuatu seperti ini, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Begitu kamu jatuh kembali ke Bumi, kamu mungkin tidak akan pernah diizinkan lagi untuk kembali ke sini. Dan jika itu terjadi… ”
Ketika kamu berpisah dengan tubuh fisikmu di sana, kamu akan terperangkap dalam limbo1, dimana kondisimu selamanya berada di antara hidup maupun mati.
Tidak jelas apakah si lumba-lumba mendengarkan si paus karena dia tidak menoleh ke belakang atau merespons sama sekali, seolah-olah sikap keras kepala nya ini menunjukkan kekuatan tekadnya.
Bahkan si ikan paus pun tidak banyak bicara dibandingkan sebelumnya. Ini dikarenakan lumba-lumba yang menolak untuk mengatakan apapun, juga sebagian besar karena si ikan paus merasa kebingungan sendiri.
“Tapi apakah Ibunda Bulan benar-benar seorang ibu… atau apakah dia seorang ratu?”
Pertanyaan lumba-lumba yang masih belum terjawab sebelumnya terus menghantui benak si ikan paus yang selama ini selalu berhasil menjaga ketenangan pikirannya.
Apakah cintanya tulus? Atau hanya penipuan dan manipulasi terselubung? Sang paus sekarang benar-benar dirasuki oleh keraguan ini, yang mungkin tidak akan pernah dia pikirkan jika bukan karena pertanyaan si lumba-lumba. Memikirkan tahun-tahun panjang dan monoton yang dia habiskan sendirian selama ini semakin memperlebar celah dalam keyakinannya pada Sang Bulan.
Tapi itu belum semuanya. Setelah dia menghabiskan waktu dengan si lumba-lumba, si ikan paus menyadari betapa bosannya dia selama ini, serta makin menyadari alasan kenapa dia tidak ingin si lumba-lumba kembali ke Bumi…
“Hei, Tuan Lumba-lumba”
Saat si paus membuka mulutnya dengan ragu-ragu untuk berbicara, lumba-lumba berhenti mengepakkan ekornya dan dengan cepat memutar tubuhnya. Di depan mereka saat ini yaitu tepat di ujung lorong, terlihat kilatan cahaya. Ada sebuah terowongan besar yang terbentang secara vertikal menembus ke dalam lautan, seolah-olah air di sekelilingnya menguap karena sinar laser, kemudian air itu akan kembali mengisi jalan yang baru saja mereka lewati.
Sang Bulan yang tertidur di dasar terowongan ini memancarkan cahaya yang menyilaukan, tetapi sebagian terhalang oleh dinding yang ada di ujung lorong, tidak cukup untuk mengungkap kegelapan tempat si lumba-lumba dan si paus bersembunyi.
Terlihat bukan hanya dua jiwa ini saja yang bersembunyi dari cahaya bulan. Tak jauh di sekitar mereka terdapat sebuah tanaman karang yang cukup besar menghalangi jalan keluar dari gua tersebut, membentangkan sulur-sulurnya ke dalam kegelapan, seolah-olah sedang menunggu jiwa lain yang berniat untuk melarikan diri dari sang bulan.
Tubuh si koral itu putih bersih, tidak seperti koral lainnya yang ada di dasar laut, dan koral itu adalah satu-satunya yang terlihat benar-benar mati di sini. Di ujung dahannya yang menyerupai tulang, tergantung ratusan karung telur. Beberapa berwarna kuning seperti matahari, yang lain biru seperti langit, dan beberapa berwarna putih sehingga mengingatkan kita pada buih ombak. Ada yang bersinar terang, sementara yang lain memancarkan cahaya redup. Proporsi mereka sangat bervariasi, mulai dari ukuran kerang shijimi kecil hingga kerang raksasa.
Lumba-lumba menoleh ke belakang dengan wajah seakan bertanya pada si ikan paus yang langsung merespon sambil mengeluarkan cahaya warna-warni dari mulutnya.
“Ya, ini pasti tempatnya. Aku yakin.”
Selama dia berada disini, si paus telah melihat banyak sekali jiwa muncul di dasar laut yang pada akhirnya nanti kembali ke Bumi. Berdasarkan pengalamannya, gua ini adalah ada satu hal yang mengindikasikan jika jiwa sudah waktunya untuk kembali ke Bumi.
Dari semua ikan yang menghilang ke dalam gua ini, tidak ada satupun yang kembali ke dasar lautan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika gua ini memang berhubungan dengan Bumi. Tidak, pasti ada sesuatu yang mengubah jiwa-jiwa ini menjadi cangkang.
Mendengar tentang gua dari ikan paus, si lumba-lumba meminta dia untuk segera membawanya ke sana.
Mempertimbangkan situasi si lumba-lumba dan juga aturan ketat yang ada di tempat ini, apa yang mereka lakukan sekarang merupakan hal yang tabu. Paus memahami hal ini lebih dari siapapun, namun dia saat ini malah terus menuntun si lumba-lumba menuju ke gua tanpa berusaha sedikitpun untuk menghalanginya. Sebelum dia menyadari apa yang telah dia lakukan, dirinya sudah berada di dalam gua itu bersama si lumba-lumba. Paus tidak tahu apa yang merasukinya saat ini; Kenyataannya bisa jadi karena pertanyaan yang belum terjawab tadi adalah hal yang mendorong paus terus masuk ke dalam gua.
Dia terus berenang di belakang lumba-lumba, entah bagaimana dia tak lama sudah ada jauh di dalam gua bahkan tanpa mencoba menghentikan lumba-lumba sekalipun, sementara dia sendiri sama sekali tidak tahu apa yang dia lakukan. Terlepas dari semua itu, dia sama sekali tidak merasa bahwa mencoba membantu lumba-lumba seperti ini adalah sesuatu yang salah, walaupun ini adalah hal yang pasti akan ditentang oleh lautan itu sendiri dan semua jiwa yang ada di alam semesta.
Karung telur berkilauan seolah memanggil si lumba-lumba. Bersinar terang atau memancarkan berbagai warna saat bergoyang, kecemerlangan masing-masing karung itu tampak seperti sedang berteriak, “Pilih aku!”
Betapa indahnya jika bisa menyentuh kecemerlangan itu…
Paus, yang semakin bersemangat, merasakan dorongan yang luar biasa untuk menggigit karung-karung itu. Tapi lumba-lumba itu belum juga bergerak. Dia tidak tertarik dengan karung telur cantik manapun, tapi yang menjadi fokus perhatiannya tak lain adalah sesuatu di dekat dasar karang.
Penasaran, paus pun mengikuti pandangan lumba-lumba dan disana dia melihat sekarung telur ungu kesepian yang tidak akan pernah mendapat perhatian dari orang lain.
“Hei Tuan Lumba-lumba, apa kamu sudah gila? Ada banyak sekali karung telur yang cantik tapi kamu pilih yang itu? Ada apa denganmu?”
Menyadari sedang diawasi oleh si lumba-lumba, si karung telur mungil itu mengguncang tubuhnya dengan kuat.
Saat si lumba-lumba mengamati kantung telur itu, dia berusaha sekuat tenaga untuk bersinar meskipun tidak ada cahaya terang atau warna yang menarik terpancar darinya, harapan si lumba-lumba pun perlahan berubah menjadi sebuah keyakinan.
Lumba-lumba menyodok dengan moncongnya, mencoba merobeknya, dan awan ungu pun meletus. Mencium bau yang dikeluarkan oleh karung telur itu, paus pun mundur dengan jijik.
“Baunya. Baunya tidak enak! Cepat hentikan. Ini adalah bau kehidupan… ”
Dari warna ungu yang redup yaitu warna kehidupan di dalam laut biru yang dalam, muncullah bau tertentu yang sudah diketahui semua makhluk di alam semesta: ini adalah bau darah yang segar dan memacu jantung.
Sesuatu yang kecil jatuh dari kantong telur yang robek itu. Berguling-guling di pasir dan tampaknya adalah sebuah cangkang kecil.
Saat si lumba-lumba memandangi cangkang abu-abu kusam yang tak menarik itu, lintasan komet seperti muncul di benaknya.
“… Apakah kamu ingin mendengar sebuah cerita lama?”
Tampaknya lumba-lumba sedang berpikir keras. Mungkin kata-katanya ditujukan bukan untuk si paus, tapi untuk dirinya sendiri.
Apakah saat itu si lumba-lumba melihat si paus berkedip? Apapun itu, lumba-lumba mulai menceritakan kisahnya dengan perlahan.
“Ini adalah sebuah kisah saat aku masih hidup. Suatu hari kami telah berkumpul di perairan dangkal selama tujuh hari, menunggu hujan meteor yang terjadi setahun sekali. “
Si lumba-lumba menunggu dengan sabar setiap tahun untuk melihat hari hujan meteor — hari ketika jiwa turun ke bumi dalam bentuk cangkang. Mereka mencari cangkang terindah dan membawanya pulang sebagai harta paling berharga tahun ini.
Meskipun mungkin sulit bagi spesies lain untuk memahaminya, bagi lumba-lumba yang memiliki iman yang teguh, tidak ada yang lebih penting dari sebuah tradisi. Walau dia tahu ada sekelompok manusia pemburu lumba-lumba yang tinggal di dekat pantai tersebut namun tetap saja si lumba-lumba melanjutkan tradisi mereka meskipun tahu itu berbahaya.
Suatu tahun, seekor lumba-lumba muda yang saat itu mengunjungi pantai untuk mencari kerang yang indah tak sengaja bertemu dengan seorang anak laki-laki.
Anak laki-laki itu mulai mengobrol dengan si lumba-lumba, dia tertipu oleh penyamarannya saat itu dan percaya bahwa si lumba-lumba itu adalah manusia. Si lumba-lumba masih belum dewasa dan tidak tahu akan kejahatan manusia, jadi dia pun menerima kedatangan si manusia muda itu tanpa rasa takut.
Akhirnya, si lumba-lumba dan si pemuda itu menunggu kedatangan hujan meteor bersama.
“Setelah menunggu bersama selama beberapa hari, hujan meteor akhirnya tiba. Lumba-lumba terlihat sangat gembira saat dia melihat banyak sekali kerang yang jatuh ke bumi…”
Lumba-lumba menghela nafas dan menatap dengan penuh kerinduan ke suatu ruang kosong yang ada di depannya, seolah-olah kilasan dari setiap ingatan yang sedang dia ceritakan saat ini sedang terwujud di sana.
Pada hari hujan meteor, si lumba-lumba yang tertarik untuk terus tinggal di sana dengan harapan akan menemukan cangkang yang indah, tiba-tiba dikelilingi oleh beberapa perahu manusia. Para manusia pemburu itu sepertinya telah menunggu dengan sabar hingga hari ini, mereka menyadari bahwa lumba-lumba yang biasanya selalu berhati-hati akan selalu berkumpul di perairan dangkal situ setiap tahun sekali. Saat itu si lumba-lumba mencoba melarikan diri, tetapi sudah terlambat.
Kemudian, saat mereka sedang digiring menuju tepi pantai dan dengan kondisi yang hampir putus asa–
“Anak manusia itu tiba-tiba berteriak dan terjun dari tebing yang ada di dekat perairan dangkal itu. Sementara perhatian para pemburu teralihkan oleh si bocah, semua lumba-lumba akhirnya bisa melarikan diri. Meskipun manusia yang membahayakan kami, namun manusia juga yang menyelamatkan kami.”
“Seorang manusia menyelamatkan kalian semua? Salah satu dari makhluk yang kejam dan sombong itu? “
Si Paus, yang diam-diam mendengarkan cerita lumba-lumba, menyahut tidak percaya.
Mengubah pandangan makhluk lain terhadap manusia dan mengubah hati seorang manusia itu sendiri bukanlah hal yang mudah. Tugas si pembawa obor berkat adalah untuk terus menceritakan kisah mereka tentang hal yang sebenarnya, apapun hasilnya nanti. Seperti biasa, perkataan si lumba-lumba memang ada benarnya.
“… Dan kemudian, bertahun-tahun kemudian, anak itu kembali lagi ke pantai.”
Manusia tidak memiliki kapasitas untuk mengingat apapun tentang si pembawa obor yaitu si lumba-lumba. Seperti yang sudah diduga, saat bertemu lagi sebagai pria dewasa, dia tidak ingat apapun tentang hari-hari yang pernah mereka lewati sebelum ini. Baik tentang si lumba-lumba atau bahkan tentang hujan meteor.
Namun, seolah ditarik oleh suatu kekuatan yang tak terlihat, entah bagaimana dia kembali ke pantai untuk ikut mengamati bintang-bintang bersama dengan si lumba-lumba yang gesit itu. Ini bukan terjadi satu kali saja; tapi berkali-kali dia lupa tentang si lumba-lumba, namun entah kenapa si pemuda itu pasti secara ajaib akan kembali ke pantai tiap tahunnya di waktu yang sama.
“Meskipun dia sekarang sudah dewasa dan sudah tahu bahwa dia sama sekali tidak bisa mengingat kenangan akan waktu yang kami habiskan bersama, dia selalu berkata, ‘Mari bertemu lagi tahun depan.’ Dan aku akan selalu menjawab dengan cara yang sama, ‘Aku akan menunggumu.'”
Tekad yang luar biasa terpancar dari wajah sedih si lumba-lumba, matanya terlihat putus asa.
“’Tidak peduli berapa kali pun kamu melupakan janji kita untuk bertemu, aku akan selalu ingat’ … Ini adalah janjiku padanya. Aku telah menepati janji ini selama bertahun-tahun dan ini adalah satu-satunya cara ku untuk bisa membalasnya karena dia telah menyelamatkanku, karena dia sudah menyelamatkan kami.”
[Akhir dari Cerita 2 Bagian 3]
Catatan Kaki: