Final Days of Summer (English to Indonesian Translation) - Cerita 2 Bagian 4
- Home
- Final Days of Summer (English to Indonesian Translation)
- Cerita 2 Bagian 4 - Sang Pengikut Bintang (TAMAT)
SANG PENGIKUT BINTANG
BAGIAN 4 (TAMAT)
Sumber Asli: disini disini Sumber Inggris:
Seorang manusia rela melompat ke laut demi menyelamatkan lumba-lumba tanpa mempertimbangkan bahaya yang bisa mengancam dirinya. Dia percaya pada cerita mereka, mengamati bintang bersama mereka. Dia bahkan berjanji untuk bertemu mereka sekali lagi.
Setelah tercengang mendengarkan cerita si lumba-lumba, pemahaman baru yang muncul dalam diri si Paus langsung mengubah ekspresinya menjadi sesuatu yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“… Tapi bahkan jika kamu berhasil pergi dari sini, peluangmu untuk kembali ke Bumi sebagai lumba-lumba sangat rendah. Sama seperti peluangmu untuk kembali ke pantai yang sama. Bahkan jika kita mempertimbangkan kemungkinan terburuk,kamu mungkin saja berakhir dengan mengembara di alam semesta tanpa akhir sebagai jiwa tanpa bentuk, tanpa pernah menjadi makhluk hidup lagi.”
“Aku tahu ini tidak akan mudah. Jika aku gagal, keberadaanku pun akan terancam.”
“Lalu mengapa kamu berani mencoba hal berbahaya seperti itu?”
Mengapa lumba-lumba berusaha melewati jalan yang begitu berbahaya yang bisa membuat dia kehilangan kesadaran dirinya padahal dia sudah cukup beruntung bisa mencapai dasar laut dengan keadaan yang masih utuh? Bahkan yang lebih buruk lagi, peluang dia untuk bisa menepati janjinya bisa dikatakan sama dengan nol.
Bahkan dengan asumsi dia bisa kembali ke Bumi, dia akan disambut di sana oleh kekacauan kehidupan. Terlahir kembali di Bumi membuatnya harus berjuang melawan takdir sebagai makhluk hidup, seperti yang dialami di kehidupan sebelumnya. Dan setelah sebelumnya merasakan ketenangan tertinggi yang pernah diberikan oleh lautan, siksaan seperti ini pasti tidak terbayangkan.
Si lumba-lumba itu menatap cangkang yang tergeletak di atas pasir.
Mempertahankan wujudnya sebagai lumba-lumba, kembali sebagai makhluk hidup, dan dapat melihat manusia sekali lagi – kemungkinan setiap hal ini bisa menjadi kenyataan sangatlah rendah sehingga bisa disebut sebagai keajaiban. Memang, beberapa orang akan menggambarkannya sebagai sebuah kemustahilan. Namun disisi lain, jika dia tinggal di sini di dasar laut, di bawah perlindungan Sang Bulan, tidak akan pernah ada yang namanya penderitaan, kekhawatiran, atau ketidakpastian. Namun…
“Aku… ingin berjuang bersamanya. Di dunia di mana kami tidak melihat latar belakang satu sama lain dan tanpa memperdulikan siapa kita sebenarnya, dunia dimana diri mereka hanyalah makhluk hidup lain yang mencoba untuk bertahan, aku ingin kami saling percaya satu sama lain, tersesat bersama, ditemukan bersama. Jika ada peluang sekecil apapun agar hal itu bisa menjadi kenyataan, aku akan mempertaruhkan segalanya.”
Suara lumba-lumba bahkan tidak menunjukkan keraguan sedikit pun; hatinya sepenuhnya tertuju pada secercah kecil kesempatan yang telah diberikan kepadanya.
Cangkang yang warnanya abu-abu sangat mirip dengan kulit lumba-lumba itu sendiri – cangkang yang pernah dipilih oleh manusia tertentu sebagai hadiah terindah. Di antara karung telur yang tak terhitung jumlahnya yang terhampar di hadapannya, dapatkah dia benar-benar menemukan orang yang melindungi cangkang itu? Meskipun dia tidak memiliki alasan pasti untuk mengetahui bahwa yang dia yakini itu benar, memangnya apa yang salah dengan mempercayai sebuah keajaiban?
Jika dia salah, semuanya akan berakhir; jadi dia hanya bisa berharap yang terbaik.
“… Kurasa apapun yang terjadi, kamu akan tetap pergi dari sini.”
Paus menggumamkan kalimat ini dengan lembut. Dari nadanya jelas dia tidak mengkritik si lumba-lumba. Sinar cahaya beraneka warna yang samar keluar dari mulut si paus.
“Alasan kenapa kamu berhasil sampai di sini tanpa kehilangan eksistensi dirimu, bisa jadi karena kuatnya keinginanmu untuk melakukannya. Ibunda Bulan sebenarnya memang sudah tidak lagi menguasai jiwamu. Tapi aku takut jika aku memberitahumu hal ini, kamu mungkin akan segera meninggalkan laut dalam dan kembali ke dunia penderitaan dan mengalami penderitaan yang tak ada habisnya.”
Motif cahaya berwarna pelangi dimuntahkan dari mulut si paus, namun cahaya itu tidak menyebar melainkan jatuh langsung ke tanah seolah-olah cahaya itu lebih berat dari yang terlihat. Paus itu menundukkan pandangannya dengan sedih ke pasir, untuk pertama kalinya dia tidak bisa menatap mata si lumba-lumba sejak mereka bertemu.
Paus tidak bisa lagi menyembunyikan hal ini dari dirinya sendiri. Alasan sebenarnya dia ingin agar si lumba-lumba tetap disini, meskipun sikapnya sendiri sebenarnya semakin skeptis tentang Sang Bulan, bukanlah demi lumba-lumba, tapi untuk dirinya sendiri, karena ketakutannya ditinggalkan di dasar lautan sendirian.
“Sejak aku bertemu denganmu, akhirnya aku menyadari seberapa dalam kebosanan yang kurasakan selama ini. Sepertinya aku sudah kesepian…dalam waktu yang sangat lama.”
Perasaan cemas dan ketidaksabaran yang mengerikan telah menguasai jiwanya karena sudah menghabiskan terlalu banyak waktu dalam kesendirian- si paus memberi nama keadaannya saat ini sebagai ‘kebosanan’ dan hal ini adalah yang paling dibencinya dibandingkan apapun.
Tapi kehangatan yang dia rasakan selama berjam-jam bersama lumba-lumba, jauh dari sekadar menghabiskan waktu, dia telah mengajarkan sesuatu yang berharga: apa yang dia takuti selama ini adalah sesuatu yang sangat berbeda dari ‘kebosanan’.
Paus tidak menyadari bahwa logikanya ini sebenarnya tidak tahu malu, bahkan bisa dikatakan menyedihkan. Dia tidak lagi merasa berhak menyalahkan lumba-lumba atas segala hal. Dia juga tidak bisa memohon lumba-lumba untuk tinggal di sini dan menemaninya bukan untuk kepentingan siapa pun kecuali demi dirinya sendiri. Bahkan jika dia memohon hal itu hanya sia-sia belaka; pandangan lumba-lumba tidak pernah sedikitpun lepas dari suatu titik yang jauh di kejauhan, bahkan walau untuk sesaat.
“… Sekarang, secara hipotesis, jika kamu menyelesaikan urusanmu di Bumi dan ingin kembali ke sini, jika kamu tersesat dalam kegelapan, aku akan menyinari cahaya terang agar bisa menuntunmu kembali pulang. Oleh sebab itu… ”
Ketika kamu kembali ke sini, apapun yang terjadi datang dan temui aku.
Saat dia mengatakan hal ini, terpancar ekspresi yang menyegarkan di wajah si paus.
Bahkan jika paus itu dengan enggan berpisah dari Ibunda Bulan, dia akan terus mengapung di sini di dasar lautan. Baginya, kemilau bulan yang sejak dulu membanjiri setiap inci lautan, tidak lagi terasa mencekik. Dia bahkan tidak yakin berapa lama dia bisa menunggu teman yang mungkin atau mungkin tidak akan kembali suatu hari nanti.
Tapi, aku tidak akan pernah mencoba untuk menahanmu, Tuan Lumba-lumba. Lagipula… kita akan bertemu lagi, suatu hari nanti. Aku sangat percaya akan hal itu.
“Kamu masih mendengarkanku kan, Tuan Lumba-lumba? Aku akan menunggu.”
Kata-kata paus tidak lebih dan tidak kurang, persis seperti janji yang pernah mengikat lumba-lumba ke Bumi.
Setelah mengucapkan kata-kata yang sama ini, si lumba-lumba secara intuitif memahami perasaan si paus dan alasan dia mengucapkan kata-kata ini, ini adalah upaya yang cukup berani untuk meniru janji lama yang pernah si lumba-lumba katakan kepada si manusia.
Jika memang demikian, tidak banyak yang bisa dikatakan selain satu hal saja.
Mari kita bertemu lagi suatu hari nanti.
Janji yang sama seperti yang diikrarkan pada suatu hari di musim panas pada dahulu kala sekarang terulang kembali namun di lautan dalam.
Pada saat yang sama, cangkang abu-abu pun mulai memancarkan cahaya yang hampir menyilaukan. Cahaya itu mulai memanjang dan membentuk sebuah garis panjang dari dalam gua seperti layaknya pelangi, membentang ke arah pintu keluar. Cahaya itu terjalin dengan lumba-lumba, menerangi tubuhnya dalam nuansa prismatik.
Bersama-sama,baik si lumba-lumba maupun si paus mengikuti jalur cahaya yang perlahan tumbuh. Entah bagaimana mereka yakin ini adalah jalan yang benar.
Sambil menelusuri jalur cahaya itu si paus memanggil si lumba-lumba dengan lembut.
“… Hei, Tuan Lumba-lumba. Jika kamu punya nama, beri tahu aku.”
“Tak Bernama. Itulah yang biasa digunakan oleh si manusia itu untuk memanggilku.”
Kukira kamu tadi bilang kalau kamu tidak punya nama. Si Paus terkekeh memikirkan ironi itu.
“Nama yang aneh. Tapi kurasa nama itu sangat cocok untuk menggambarkan dirimu.”
Paus tidak sempat melihat wajah lumba-lumba untuk terakhir kalinya. Dia merasa si lumba-lumba mengatakan sesuatu sebagai respon dari kalimat sebelumnya, tetapi pada saat itu si paus sudah keburu melewatinya, meninggalkan gua, dan berenang di sepanjang dasar laut. Ada hal lain yang harus dia lakukan.
Untuk mendapatkan kesempatan melihat temannya sekali lagi, paus harus mengalihkan perhatian kekuatan besar yang akan mencoba menghalangi jalannya kembali ke Bumi.
Paus, tidak lagi takut pada Sang Bulan dan dia melepaskan semburan gelap. Awan hitam pun menutupi sang bulan, menghalangi penglihatannya.
“Pergilah. Jangan khawatir, aku akan menunggumu disini sampai kamu sudah merasa cukup lelah untuk menjalani perjalanan hidup yang sulit.”
Paus menggumamkan kalimat ini bukan untuk siapapun secara khusus.
Titik aliran cahaya melalui angkasa menuju Bumi, bergerak dari dasar samudra yaitu suatu tempat tak berwarna yang ada di ujung dunia menuju ke langit malam. Paus itu hanya diam mengamati, tidak bergerak, sampai titik yang seperti komet itu perlahan menghilang sepenuhnya. Dia ingin mengantar kepergiannya dari sebuah jiwa yang telah menolak uluran tangan Sang Ratu.
Selamat tinggal, Tak Bernama. Sampaikan salamku untuk manusia.
[Akhir dari Cerita 2 Bagian 4 – TAMAT]
Catatan Penerjemah:
Hai pembaca, terima kasih buat kalian yang sudah mau mengikuti cerita tentang persahabatan yang menembus batas waktu ini, sebuah persahabatan kecil namun kuat dan manis ini sangat menyentuhku sehingga aku pun tergerak untuk menerjemahkan novel indah ini, alasan lainnya tentu saja karena penerjemahan bahasa inggris yang sangat tertata rapi. Mohon maaf jika banyak penerjemahan ke Bahasa Indonesia yang masih sangat kurang. Namun semoga inti dari ceritanya bisa didapatkan oleh masing-masing pembaca.
Terima kasih sekali lagi aku ucapkan kepada penulis Masaki Hashiba yang sudah memberikanku kesempatan untuk menerjemahkan novelnya kedalam Bahasa Indonesia walau beliau sadar bisa jadi banyak pergeseran makna dalam prosesnya. Juga terima kasih pada rekan Locksleyu (sefltaughtjapanese) sebagai penerjemah Inggris yang sudah menjembatani progres perizinan antara aku dan penulis asli serta memberikan izin untuk menggunakan terjemahannya sebagai sumber untuk saya.
Sampai jumpa di novel selanjutnya ^^