Heart Protection (English - Indonesian Translation) - Chapter 103
Chapter 103
Hutan yang luas dengan pepohonan yang menjulang dapat ditemukan di Qing Qiu Selatan. Sinar mataharinya praktisnya terhadang untuk mencapai semak-semak. Yan Hui, yang sedang terbang di langit, tidak bisa melihat jejak yang mengarah ke sarang itu. Ia hanya bisa memasuki hutan dan mencari dari bawah.
Yan Hui buru-buru mencari dengan resah, tetapi ia tidak menemukan jejaknya. Namun, jauh di depan, datanglah suara yang keras. Tanahnya berguncang. Hati Yan Hui menegang, dan ia langsung mulai menuju arah itu. Ia baru saja mengambill beberapa langkah saat buminya bergetar bahkan lebih keras. Sepertinya, apa pun itu yang membuat tanahnya bergetar, sedang berlari ke arahnya. Yan Hui nyaris tidak bisa terus berdiri.
Tanah di depannya tiba-tiba menonjol. Pepohonan besarnya tercabut dan tumbang. Iblis hitam besar muncul dari bawah tanah. Yan Hui menatap dengan mata terbelalak. Itu adalah iblis ular berkepala sembilan!
Tetapi, tiga kepalanya sudah hilang. Seluruh tubuhnya berlumuran darah, dan sisa enam kepalanya mendesis kesakitan.
Dengan memutar, keenam kepala itu melihat ke arah Yan Hui secara bersamaan. Kemudian, sambil mendesis, iblis ular berkepala sembilan itu pun menyerang Yan Hui.
Mulutnya menganga lebar seolah ia akan menelan Yan Hui dalam sekali tegukan.
Yan Hui terkejut awalnya, tetapi kemudian ia langsung menenangkan diri. Ia berdiri kokoh dan mengumpulkan napas batinnya. Ia mensirkulasikan teknik hati yang dipelajarinya di Penganugerahan Iblis di sekitar tubuhnya. Ia melambaikan tangannya, dan sebuah bola api pun diluncurkan ke arah iblis ular itu.
Iblis ular berkepala sembilan itu tidak menghindar atau pun tersentak. Salah satu kepalanya pun dengan kaku menelan bola api itu. Kepala lainnya dalam sekejap mata menjulur sampai tepat berada di depan Yan Hui. Taringnya berkilauan mengerikan di rahang yang menganga itu, dan napas amisnya cukup untuk membuat orang muntah.
Yan Hui menyipitkan matanya. Ia baru saja akan melawan iblis itu sekuat tenaga ketika mendadak, cahaya api muncul dari atas kepala. Seseorang turun dari langit, tiba dengan bobot dan kekuatan petir. Sebilah jian menembus kepala ular itu dan membungkam mulutnya. Orang itu berdiri di depan Yan Hui, aura iblis berdenyut keluar dan mendorong iblis ular itu tiga puluh tiga meter jauhnya.
Yan Hui menatap kosong ke arah Tian Yao yang matanya berkilat merah. Ia melompat, mengejar ular itu, dan memulai pertarungan di tempat ular itu terdorong. Racun melumuri tubuh iblis ular yang kuyu itu, dan keenam kepalanya tidak pernah berhenti bergerak. Akhirnya, salah satu kepalanya mengambil celah dan menelan Tian Yao bulat-bulat, jian, dan semuanya.
Benak Yan Hui memutih. Ia baru saja akan berlari ke depan untuk menyelamatkan Tian Yao ketika ia melihat kobaran api keluar dari perut ular itu. Iblis ular itu meraung dan kemudian langsung meledak menjadi kabut halus. Ia benar-benar lenyap.
Kabut itu membuat semuanya jadi samar dan kabur, tetapi pancaran jian panjang itu bisa terlihat dari dalamnya.
“Tian Yao ….”
Yan Hui pun maju selangkah ke depan tanpa sadar. Ada langkah kaki di dalam kabut, dengan mantap berjalan keluar. Tian Yao muncul dari dalam kabut. Ia berlumuran darah, dan lengan kirinya menggantung lemas di sampingnya. Darah mengalir menuruni ujung jarinya dan menetes ke tanah. Jian berapi-api di tangannya perlahan-lahan menghilang hingga hanya tersisa cahaya halus di tangannya.
Itu adalah nei dai si iblis ular.
Yan Hui sedang tidak berminat untuk memerhatikan nei dai tersebut.
Ia berlari ke arah Tian Yao dan bertanya dengan cemas: “Bagaimana luka-lukamu?”
Tian Yao tidak mengucapkan sepatah kata pun. Baru setelah Yan Hui berdiri di depannya, ia mulai bersandar. Yan Hui secara otomatis mengulurkan tangan untuk memeluknya dan memapahnya dengan tegak. Ia dapat mendengar napas kasarnya dan bau darah serta racun ular. Namun, Yan Hui tidak merasa jijik sama sekali. Ia hanya merasa ….
Tertekan.
Sangat tertekan.
Yan Hui hanya perlu berpikir sedikit sepanjang jalannya kemari, sebelum mengetahui kenapa Tian Yao akan datang kemari sendirian. Jika bukan karena ia tidak bisa mengambil kembali nei dan-nya sendiri, maka tidak ada alasan baginya untuk mengambil nei dan ular itu. Apabila ia memiliki nei dan-nya sendiri, maka ia tidak akan berada dalam kondisi ini.
Ia seharusnya melayang di langit, membuat semua orang gemetar ketakutan di bawah ketidaksenangannya.
“Yan Hui.”
Tian Yao tiba-tiba tertawa di telinga Yan Hui.
“Kau datang lagi.”
Ia menepuk kepala Yan Hui dengan kelembutan, kesedihan, dan beberapa emosi tersembunyi lainnya.
Tian Yao berkata, “Jangan pertaruhkan nyawamu untukku. Aku akan melindungimu.”
Kepala di pundak Yan Hui jadi sedikit lebih berat.
Tian Yao sudah pingsan.
Yan Hui terdiam, dan setelahnya ia dengan agak berat menepuk punggungnya.
Suaranya tercekat: “Pertama, lindungi dirimu sendiri. Baru kita bicara.”
Yan Hui pergi ke sebuah tempat dengan air bersih dan membasuh wajah Tian Yao. Kemudian ia melepaskan pakaian luaran Tian Yao dan mencucinya di dalam air. Yan Hui masih mengucek pakaiannya saat Tian Yao siuman di belakangnya.
Ia sedikit membuka matanya dan melihat Yan Hui bermandikan sinar matahari. Ia fokus mencuci pakaian di tangannya. Saat air terkadang menciprat ke wajahnya, ia akan mengelapnya. Ekspresinya tampak natural. Tidak ada depresi atau kesedihan. Matanya tidak mengandung kesedihan yang tersisa setelah Ling Xiao meninggal.
Untuk sesaat, pemandangan di depan matanya seperti sebuah ilusi. Mereka hanyalah pasangan biasa di dunia. Akan lebih baik jika satu-satunya hal yang Yan Hui khawatirkan hari ini adalah tidak ingin mencuci piring dan besok tidak mau memasak. Menjalani kehidupan biasa dengan sedikit bermalas-malasan ….
Barangkali, karena tatapan di belakangnya terlalu kuat, Yan Hui pun menoleh ke belakang.
Ia agak kaget dan bertanya pada Tian Yao: “Ada apa? Kenapa kau memandangiku dengan mata sebaik itu? Ini menyeramkan.”
Tian Yao terbatuk: “Apa kau membantuku mencucikan pakaianku?”
“Kau ditelan oleh iblis ular berkepala sembilan itu dan setelahnya meledak keluar. Kau bau … yang diperlukan hanyalah percikan air, dan kau akan seperti pupuk. Jika aku tidak mencucinya, tidak mungkin aku bisa membawamu kembali.”
Tian Yao mengangguk dan terdiam.
Yan Hui memeras pakaiannya dan menggantungkan mereka di dahan pohon. Dengan panasnya matahari hari ini, pakaian itu semestinya kering dengan cepat. Setelah menyusun pakaiannya, Yan Hui pun berjalan mendekat dan duduk di samping Tian Yao.
Lengan Yan Hui bersentuhan ringan dengan lengannya. Yan Hui juga tetap diam. Mereka duduk tenang di sana, mendengarkan aliran sungai yang deras, dan memerhatikan burung yang sesekali terbang di atas.
Tian Yao tidak bisa menahannya lebih lama dan bertanya: “Kenapa kau datang?”
Yan Hui berbicara: “Aku memimpikan shi fu dan Ketua Murid Senior. Itu adalah saat mereka membawaku ke Gunung Chen Xing. Itu adalah momen paling beruntung dalam hidupku. Shi fu menggendongku di punggungnya. Ketua Murid Senior khawatir kalau aku merindukan rumahku, jadi ia berusaha menceritakan lelucon yang benar-benar tidak lucu untuk menghiburku.”
Yan Hui tertawa selagi ia berbicara.
Tian Yao melihat ke bawah, tetapi juga tertawa ringan bersama Yan Hui.
“Aku benar-benar berharap bahwa jalan itu akan berlangsung selamanya, bahwa jalan itu tidak akan berakhir.”
Yan Hui menjeda. Lengannya sedikit lebih menempeli Tian Yao.
“Tetapi kemudian, seseorang memberitahuku, seseorang sedang menindasmu, jadi aku pun terbangun.”
Tian Yao tertegun. Saat ia akhirnya mencerna apa arti kata-kata itu, matanya pun berbinar. Tian Yao melihat ke arah Yan Hui, tetapi kepalanya dimiringkan dan bersandar di bahu Tian Yao.
Yan Hui berkata, “Bagian terakhirnya palsu. Aku mengarangnya untuk membuatmu senang. Itu tidak benar-benar terjadi.”
“….”
Mendengarkan ucapan Yan Hui seperti menaiki awan saat terluka parah … naik dan turun ….
Yan Hui bisa merasakan kalau Tian Yao jadi kaku.
Ia pun tertawa seperti anak kacil yang leluconnya praktis berhasil: “Tetapi, begitu aku teringat bahwa kau sedang menungguku, aku keluar dari mimpi itu. Pada saat itu, aku tidak ingin bermimpi semacam itu lagi. Ketika aku terpikirkan bahwa sikapku melukai si naga hebat Tian Yao, aku jadi marah pada diriku sendiri.”
Yan Hui mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Tian Yao.
Ia pun menjalin jari-jari mereka bersama: “Aku jelas-jelas mengatakan bahwa aku akan melindungimu.”
“Yan Hui ….”
“Pertama-tama, dengarkan aku,” ucap Yan Hui.
“Kenanganku selama sepuluh tahun bersama shi fu sangat nyata dalam benakku. Setiap fragmennya dapat membuat hatiku sakit. Bagiku, Ling Xiao adalah sepuluh tahun hatiku. Ia adalah shi fu-ku, orang yang kuhormati, orang yang kukagumi. Orang seperti ini, mengorbankan nyawanya demi diriku …. Aku terjebak dalam rasa sakit dan kesedihan selama dua hari ini.”
Yan Hui menjeda dan duduk tegak.
Ia menatap Tian Yao, “Tetapi, aku tahu bahwa suatu hari, aku akan berjalan terus.”
Manusia selalu sekuat binatang.
Luka akan sembuh.
Rasa sakit akan berlalu.
“Aku bisa keluar sendiri dari kabut ini, tetapi aku butuh waktu. Tian Yao, apa kau bersedia untuk menemaniku selama masa ini?”
Jika orang mengatakan, apa momen paling indah Tian Yao, itu adalah bertemu Yan Hui saat ia berada dalam keputusasaannya. Apabila orang akan mengatakan apakah momen paling indah Yan Hui, itu adalah memiliki Tian Yao ketika ia tidak punya apa-apa lagi.
Tian Yao tidak merespon untuk waktu yang lama. Saking lamanya, sampai-sampai Yan Hui mulai berpikir, pikiran Tian Yao sudah mengembara ke tempat lain. Mulut Tian Yao sedikit melengkung … dan ia benar-benar tertawa.
Yan Hui sedikit tertegun melihat senyuman tulusnya: “Apa yang kukatakan … yang sebegitu lucunya ….”
“Imut sekali.”
“Apa?”
Karenanya, Tian Yao pun mengulangi: “Yan Hui, saat kau mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, itu sangat imut.”
Itu membuat jantung Tian Yao berdebar kencang dan pikirannya jadi kosong.
Yan Hui sedikit tercengang.
Ia berdeham dan menutupi wajah memerahnya: “Kau yang ngomong. Apa yang akan kau katakan?”
“Kau sedang memegangi tanganku yang terluka.”
Yan Hui tercengang. Ia melihat ke bawah dan akhirnya menyadari jari-jarinya terjalin dengan tangan kiri Tian Yao yang terluka. Ia merasakan sakit di hatinya dan juga sentakan rasa malu yang besar.
Yan Hui pun dengan cepat melepaskan: “Kalau sakit, maka katakan sesuatu. Jika kau menahannya, mana bisa aku tahu ….”
Yan Hui belum selesai bicara atau sepenuhnya menarik tangannya ketika Tian Yao menggunakan tangannya yang terluka untuk menarik Yan Hui ke depan. Ia membuatnya jatuh ke dalam pelukannya dan mendekapnya.
Yan Hui tetap terkejut untuk waktu yang lama. Lalu, pipinya mulai perlahan-lahan menghangat.
Walaupun mereka berdua saling mengungkapkan perasaan, hanya ada sedikit momen mesra di antara mereka. Rasanya seperti mereka sudah terbiasa dengan gaya persahabatan di antara mereka. Biasanya, berpegangan tangan, apalagi berpelukan, jarang terjadi.
Dalam situasi saat ini, mereka berdua tidak punya waktu untuk berpikir apakah ada yang salah di antara mereka berdua. Sekarang, dengan pelukan Tian Yao, Yan Hui dengan bingung berpikir bahwa mereka sudah bersikap terlalu polos terhadap satu sama lain ….
Tian Yao tidak memeluk Yan Hui dengan sifat mencekik yang digunakan pada malam bulan purnama. Juga bukan pelukan terkejut ketika ia mengira bahwa Yan Hui sudah meninggal. Ini adalah pelukan lembut yang perlahan meneteskan kasih sayang. Ini adalah pelukan lembut yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
“Yan Hui, ada masalah dengan pertanyaanmu.”
Yan Hui terkejut: “Apa?”
“Aku bersedia melakukan apa pun demi dirimu. Cukup biarkan aku bersamamu.”
Pojokan Raindrop: Meleleh aku mas, meleleh~