My Childhood Friends are Trying to Kill Me (English to Indonesian Translation) - Bab 134
BAB 134
“Apa maksudmu?”
Lelia mengerjapkan matanya mendengar gumaman samar Romeo.
Ketika Romeo menatap Lelia kembali, dia tersenyum samar dan mengangkat bahunya sambil berkata, “Ini memang ramuan yang aku butuhkan saat ini.”
“…Kebutuhan penelitian, bukan?”
“Yah, kurang lebih.”
Melihat reaksi Romeo, sepertinya pria ini sama sekali tidak ada niat untuk mengatakan ramuan apa itu.
“Aku sangat membutuhkannya sekarang.”
Romeo bergumam sambil memutar botol ramuan tersebut.
“Lelia.”
“….”
“Ini adalah terakhir kalinya aku mengatakan hal ini, jadi dengarlah dengan seksama. Memang terdengar aneh, jadi aku tidak akan mengatakannya dua kali.”
“Apa?”
“Ketika kita masih kecil… kamu pernah menolongku.”
“….”
“Aku selalu mengagumimu, menghormatimu dan mencintaimu dan hal ini akan terus seperti ini hingga kedepannya.”
“….”
“Aku akan selalu berada di sisimu, seolah-olah aku ini adalah muridmu. Juga sebagai sahabat. Jadi…”
“…”
“Kamu harus bersandar padaku dan manfaatkan aku. Bukankah kamu sebaiknya memberikan kesempatan bagiku untuk membalas budi?”
“Romeo…”
Saat Lelia memanggilnya dengan suara kecil, ekspresi Romeo runtuh.
“…Apa kamu merasa tidak nyaman dengan hal ini? Sangat sulit menenangkan dirimu… sungguh…”
“….”
Romeo menggelengkan kepalanya dengan wajah pucat, namun telinganya memerah.
Lelia merasa sangat beruntung menjadi orang yang dipedulikan oleh Romeo.
Sebagai anak kecil, dia adalah orang pertama yang menjadi temannya, bersama dengan Romeo selalu membuat Lelia merasa tenang.
Lelia ragu sejenak sebelum berkata,
“Begitu juga aku. Malah sebaliknya, kalian lah yang sudah menyelamatkanku. Bagiku kalian semua adalah pahlawanku.”
Alis Romeo berkerut. Dia saat itu sedang membuka tutup botol dan berusaha meminum isinya namun dia berhenti sebentar sambil menatap Lelia seperti terusik.
“Kamu akhirnya mengatakan sesuatu yang sungguh memalukan…berhenti saja, oke?”
“Bukannya kamu yang selalu bersikap seperti itu….”
“Aku keren kan? Memang begitulah aku.”
“Hah!”
Saat Lelia sedang terpana mendengar ucapannya, Romeo langsung meneguk semua ramuannya. Kemudian dia pun menunjukkan ekspresi segar, seperti seseorang yang baru saja meminum bir.
“….”
Lelia menatap Romeo dengan seksama untuk memastikan dia baik-baik saja, tentu saja sambil mengabaikan ekspresi yang di tunjukkan Romeo barusan.
[Dia bilang ini lebih kepada bahan untuk penelitiannya kan, jadi harusnya aman untuk diminum langsung seperti itu?]
“Kalau begitu aku pergi dulu.”
Romeo beranjak dari tempat duduknya seakan semua urusannya sudah selesai.
“Jangan menangis sendirian nanti malam. Jika kamu takut, panggil pria ini, ok?”
“…..”
“Oh, dan….”
Sebelum Romeo keluar dari ruangan, dia tiba-tiba berbalik.
“Sekedar memastikan….”
“Apa?”
“Aku sebelumnya mengatakan aku mencintaimu kan, tapi kamu jangan salah paham ya, maksudku bukan mengarah ke percintaan seperti itu, oke? Jika kamu sampai salah paham, maka kamu yang rugi…”
“Bukannya tadi kamu bilang mau pergi?”
“Bukan seperti itu, tapi jika kamu ingin memanfaatkanku secara politik, kamu boleh kok memohon padaku untuk dinikahi…”
“Kamu mau dihajar seperti Kalix?”
Romeo mengangkat tangannya dan langsung melarikan diri dari Lelia, yang sudah mengancang-ancang untuk mengejarnya.
“Hah…”
Setelah Romeo pergi, ruanganpun menjadi sunyi.
Lelia tersenyum sedih, seakan kecewa.
Mungkin karena pengaruh dari keberadaan Romeo yang berkunjung di waktu seperti ini, Lelia mau tidak mau merasakan kenyamanan darinya.
Oke, sejak kapan kamu menganggap Kaisar sebagai keluarga? Jadi seharusnya Lelia tidak memiliki alasan untuk merasa terluka sama sekali.
****
Kondisi Kaisar Perseus sangat aneh.
Permaisuri memang sempat merasa khawatir sesaat….
Ketika dia berhadapan dengan sang Kaisar, yang hampir terlihat seperti pemandangan yang sangat mengganggu di matanya, entah kenapa hatinya tiba-tiba terasa berat.
Bahkan saat dia sudah meminum obat penenang sekalipun, dia tetap bergumam, “Lelia…” Dia melihat mata sang Kaisar yang memerah dan tersadar.
Kaisar Perseus ini adalah orang yang sangat keras kepala.
Permaisuri Marianne berniat menjadikan anak kandungnya, bukan Cedric atau Damian, yang naik sebagai pengganti sang Kaisar.
Jika dilihat situasinya sekarang, Sang Permaisuri sempat berpikir jika saat ini adalah waktu yang tepat baginya untuk melancarkan aksinya melawan Cedric dan Damian.
Sang Kaisar selalu siap untuk menyerahkan segalanya pada Lelia.
‘Jika terus seperti ini, dia bahkan rela menyerahkan tahtanya.”
Tidak boleh sampai terjadi.
Dia harus mencari cara untuk mengulur waktu.
Permaisuri yang khawatir pun segera menemui sang Kaisar dan mengajukan proposal.
Dia berkata akan lebih baik bagi sang Kaisar untuk beristirahat sejenak dari segala tugas kekaisaran dan bisa kembali lagi setelah pikirannya tenang, bahkan walau cuti yang diambil ini digunakan untuk berobat sekalipun.
Permaisuri bersikap sangat penuh pengertian dan juga menunjukkan rasa peduli yang cukup besar.
“Lelia pasti butuh waktu juga. Sementara ini jaga jarakmu dengan dirinya dan tunggu hingga hati anak itu terbuka sedikit demi sedikit, Kaisar.”
“….”
Kaisar pun perlahan berhasil diyakinkan, karena logikanya sangat masuk diakal.
Ini pertama kalinya Kaisar merasa dirinya sangat lemah. Mungkin itulah mengapa sang permaisuri berhasil meyakinkan beliau dengan segenap hatinya dan usahanya pun tidak sia-sia.
Jadi Kaisarpun memutuskan untuk meninggalkan Istana Kekaisaran selama beberapa waktu untuk menyembuhkan dirinya.
Selama keabsenan beliau, pemerintahan akan ditangani oleh Cedric.
Permaisuri Marianne berencana untuk memanfaatkan kesempatan emas ini.
Putri Lelia akan membuang kesempatannya untuk memperoleh posisi sebagai pewaris dan berencana untuk melarikan diri.
Jadi sang Permaisuri harus bisa memanfaatkan waktu berharga ini.
‘Aku harus memperburuk reputasi Cedric’
Aristokrat yang berada di pihaknya sudah menyarankan untuk mengenyahkan Cedric secepatnya, namun Marianne menggelengkan kepalanya.
Dia tidak bisa membunuhnya, dia terlanjur memiliki rasa sayang pada sang pangeran karena bagaimanapun dialah yang telah membesarkan mereka.
Namun untuk urusan tahta…
Orang selanjutnya yang akan mewarisi tahta haruslah dari darah dagingnya sendiri.
Baru saat itu bisa tercapailah, sang Permaisuri bisa memegang kekuasaan untuk waktu yang sangat lama.
****
Lelia ingin meninggalkan kastil kerajaan secepatnya dan kembali ke wilayah Superion.
“Lelia, untuk sementara…bagaimana kalau kamu tinggal di ibukota lebih lama?”
Paman Carius mengatakan ini dengan ekspresi yang cukup rumit.
Lelia bingung, karena ini bisa dibilang seperti permintaan dari beliau sendiri.
“Aku memang ingin membawamu pulang sekarang, tapi…”
Carius menggigit bibirnya.
Pagi ini, sebelum pergi berobat, sang Kaisar memanggilnya dan memohon dengan sangat.
Dia meminta Carius untuk meyakinkan Lelia tinggal lebih lama di ibukota sampai dirinya kembali.
Ketika dirinya kembali dengan kondisi fisik dan mental yang baik, dia akan meminta maaf dengan pantas sekali lagi pada Lelia. Yang diharapkan oleh sang Kaisar adalah agar Lelia mau menunggu kepulangannya.
“….”
Kondisi Perseus sepertinya sangat serius.
Dia mendengar dokter kerajaan yang mengatakan bahwa sang Kaisar saat ini sedang sakit parah dan butuh kondisi lingkungan yang bisa menstabilkan kondisinya.
Ketika Carius melihat sang Kaisar secara langsung, wajah tampan sang Kaisar dipenuhi dengan keringat yang mengalir tanpa henti dan wajahnya juga terlihat sangat lelah.
Matanya terlihat kosong. Kaisar yang memiliki segalanya memiliki mata yang menunjukkan seakan dirinya sudah kehilangan segalanya.
Setelah dulu dia pernah melihat mata yang sama pada Elizabeth, Carius pun tidak bisa menolak permintaan sang Kaisar.
Apalagi beliau mengatakan bahwa ini adalah permintaan terakhirnya.
Terakhir….
“Lelia. Jika kondisi di kastil kerajaan tidak nyaman, ayo kita pindah ke wilayah ibukota dan tinggal disana.”
“…”
Lelia langsung paham motif sang Paman.
Jelas ini adalah permintaan dari sang Kaisar. Namun jika sang paman, yang sudah jelas merupakan pihak yang sangat menentang Kaisar, sampai berkata seperti ini….
[Apakah Kaisar mengancamnya dengan wilayah Superion?]
Lelia mengerutkan keningnya. Dia tidak suka jika Superion berada di posisi sulit karena dirinya.
Namun dia juga tidak ingin tinggal lebih lama disini.
“Lagipula, sang Kaisar juga akan meninggalkan Istana Kerajaan sementara waktu, jadi tidak akan ada yang akan mengganggumu.”
“….”
Lelia tidak bisa berkata-kata.
[Padahal Kaisar bukan satu-satunya orang yang terluka di sini.]
Lelia kemudian mengangguk beberapa kali.
Yah, tidak masalah untuk bertahan beberapa lama lagi jika aku tidak harus bertemu Kaisar.
****
Namun setelah pamannya pergi, Julianna segera datang mengunjunginya. Lelia langsung berubah pikiran.
Dia sama sekali tidak ingin bertemu dengan gadis ini, namun sekali lagi, Julianna membuka pintunya tanpa permisi.
“….”
Lelia dengan kentara menunjukkan ketidaksukaannya akan situasi ini, namun Julianna tetap mendekat.
Airmata hampir jatuh berlinang di sudut mata sang putri.
“….Aku, aku bersalah.”
“….”
[Ulah apa lagi yang ingin kau tunjukkan padaku sampai aku hilang kesabaran?]
Kali ini sikap yang ditunjukkan berbeda jauh dengan terakhir kali mereka bertemu. Lelia bahkan terlihat sangat was-was dengan sikap Julianna yang seperti ini.
“Karena aku sudah salah…jadi tolong jangan ganggu ayahku lagi. Jangan sakiti beliau.”
“Apa?”
“Dan kamu…bukan hanya kamu sendiri yang melewati masa sulit. Ayahku juga sudah melewati masa sulit. Sampai aku saja merasa kasihan pada beliau.”
Julianna tahu bahwa ayahnya selalu mengingat mendiang istrinya dan terlihat sangat sedih tentang kematian beliau.
Dia ingat bagaimana sang Kaisar merasa kasihan pada anak yang mereka kira sudah meninggal dunia bersama dengan sang ibu.
“Aku tidak tahu seberapa luka, rasa bersalah dan kesulitan yang dia sudah rasakan karena dirimu. Kamu tidak tahu…jadi jika kamu benci aku, jadi silahkan marah padaku saja.”
Julianna mulai berbicara hal-hal yang tidak masuk akal dan terus bergumam.
[Apa yang harus aku katakan pada gadis ini]
Lelia mulai berpikir….
Akhirnya Lelia memutuskan untuk memberitahukan fakta secara langsung.
Dia pikir mungkin Julianna sudah salah paham lagi.
“Mohon maaf sebelumnya Putri Julianna. Aku sama sekali tidak tertarik denganmu.”
“….Apa?”
“Aku tidak benci dirimu, dan aku juga tidak tertarik padamu. Sejujurnya aku bahkan tidak ingin berbicara empat mata denganmu seperti sekarang.”
“….Apa maksudmu?”
“Sikapmu ini sangat mengganggu. Aku tidak tahu kenapa kamu melakukan ini….”
“Jadi kalau begitu, kenapa kamu menyiksa ayahku? Jika bukan karena aku, jadi kenapa? Tidak masuk akal!”
“….”
Tanggapan yang dilontarkan sang putri benar-benar tidak masuk akal.
Lelia hanya bisa menghela nafas.
Julianna, yang sejak tadi menangis, sekarang berubah marah.
“Jadi…kamu memang cuma marah pada ayahmu?”
“….”
“Kenapa kamu tega melakukan itu? Kamu bukan satu-satunya korban! Malah bisa dibilang, ayahlah korban yang sebenarnya!”
Kepala Lelia mulai berdenyut. Dia sama sekali tidak mengerti logika dan kualifikasi apa yang ada di benak sang Putri hingga dia mengatakan hal ini.
Tak lama dia berkata sebagai peringatan.
“Jangan pernah menyakiti ayah dan kakak-kakakku lagi. Jika kamu membuat keluargaku menangis lagi…aku tidak akan memaafkanmu.”
“….Kau hanyalah putri palsu.”
“Apa?”
“Apa kamu tidak tahu? Itulah yang dikatakan orang-orang dibelakangmu.”
Julianna tampaknya sangat syok dan terluka dengan kata-kata itu.
Dengan bibir yang gemetaran, dia kemudian mundur seakan takut.
Kemudian dia pun berlari keluar sambil terisak-isak.
“….”
Lelia terduduk diatas tempat tidurnya kemudian dia merasa seluruh tenaganya terkuras habis.
Dia harusnya mengabaikan sang putri sampai akhir.
Namun pada akhirnya, Lelia merasa begitu marah hingga dia mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya pada Julianna.
Dia menggigit bibirnya, merasa perasaan bersalah yang aneh.
Dia rasanya ingin melarikan diri.
Dia berbaring diatas tempat tidur seakan hendak pingsan.
“…Seperti orang bodoh.”
Airmata menggenang di matanya.
Penyesalanpun datang.
Rasanya dirinya sedang berdiri di persimpangan dari sekian ribu jalan.
Dia terus merasa seakan dia tidak seharusnya kembali ke istana kerajaan.
“…Aku harusnya dari awal melarikan diri sendirian saja, jadi aku tidak perlu menghancurkan wilayah Superion.”
Penyesalan selalu datang terlambat.
Lelia bergumam pada dirinya sendiri dengan nada kosong.
“…Apa sebaiknya aku melarikan diri saja sekarang?”
Dia merasa seakan ingin menangis tanpa harus sibuk menghapus airmata yang mengalir deras.
Dan dia pun sepertinya tertidur setelah menangis dalam waktu yang lama.
****
Saat Lelia membuka matanya lagi, dia sadar bahwa sepertinya beberapa waktu sudah lewat.
Namun aneh.
“Dimana aku?”
Dia jelas-jelas tertidur diatas kasur namun saat ini bagian punggungnya terasa seperti sedang berguncang.
[Memangnya tempat tidur bisa berguncang seperti ini?]
Lelia memaksa membuka matanya yang agak bengkak .
Kemudian dia pun sadar bahwa saat ini dia sedang berbaring diatas kereta. Dia tidak sadar bahwa ini adalah kereta karena tempat dia berbaring sekarang terasa sangat lembut dan nyaman.
Saat itulah terdengar suara.
“Hai, tidurmu nyenyak?”
Lelia terkejut dengan suara yang terdengar dari seberangnya dan segera memutar kepalanya ke asal suara tersebut.
“Aku berharap kamu akan terbangun lebih lama lagi. Paling tidak usaha penculikannya jadi terasa sesuai.”
“….”
Di depannya adalah seorang Oscar, yang menatapnya dengan senyum ringan.
Dalam sekejap keringat dingin pun mulai menerpa Lelia dari atas kepala hingga ujung kaki.